![]() |
| Erieka Rahmah |
Nelson Mandela pernah berkata, “Pendidikan adalah senjata paling mematikan di dunia, karena dengan pendidikan Anda dapat mengubah dunia.”
Namun, di negeri kita tercinta — Indonesia — makna mendalam dari kalimat itu terasa semakin jauh dari kenyataan. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan menuju perubahan justru diwarnai oleh konflik, ketimpangan, dan hilangnya nilai-nilai kemanusiaan.
Guru: Pahlawan yang Semakin Tersisih
Guru adalah sosok yang seharusnya dihormati, bukan disisihkan. Tapi realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Beberapa waktu lalu, seorang guru honorer dari Bengkulu menangis di hadapan Komisi X DPR dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Juli 2025. Ia mengungkapkan keluh kesah para guru yang telah mengabdi bertahun-tahun namun masih terjebak dalam ketidakpastian status dan kesejahteraan.
Di tempat lain, seorang guru menangis karena tiba-tiba dihapus dari daftar pengajar hanya karena tidak lulus tes PPPK. Ia digantikan oleh guru baru tanpa mempertimbangkan dedikasi dan pengabdiannya selama bertahun-tahun.
Lebih memilukan lagi, Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Prabumulih, Roni Ardiansyah, diberhentikan dari jabatannya setelah menegur anak Wali Kota yang membawa mobil ke sekolah. Meski Dinas Pendidikan menyebut hal itu “mutasi biasa”, publik melihatnya sebagai bentuk ketidakadilan terhadap sosok yang hanya berusaha menegakkan disiplin.
Siswa dan Krisis Moral di Era Digital
Sementara itu, di sisi peserta didik, kita menghadapi tantangan yang tak kalah serius.
Kasus kekerasan dan perundungan (bullying) masih marak. Pada Oktober 2025, Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, menampar siswa yang kedapatan merokok, dan tindakan itu memicu kontroversi hingga mogok belajar. Fenomena ini menunjukkan bahwa hubungan antara guru dan murid kini semakin renggang.
Di dunia maya, pelajar lebih sibuk mengejar tren TikTok daripada ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka bahkan tidak mengetahui hal-hal mendasar seperti perkalian, ibu kota provinsi, atau nama-nama negara.
Di tengah situasi itu, kita masih bisa melihat sedikit harapan lewat siswa-siswi berprestasi seperti peserta Class of Champions Ruangguru — mereka membuktikan bahwa masih ada anak-anak Indonesia yang berjuang untuk prestasi, bukan gengsi.
Kampus dan Sekolah yang Tak Lagi Aman
Yang juga menyayat hati adalah maraknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dunia pendidikan.
Kasus yang sempat viral di Universitas Udayana, Bali, menjadi contoh paling tragis. Seorang mahasiswa yang dikenal berprestasi dan penuh cita-cita harus kehilangan harapan karena lingkungan kampus yang tidak berpihak padanya. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat tumbuh, justru menjadi ruang luka dan keputusasaan.
Ironisnya, dalam banyak kasus, pihak lembaga memilih bungkam atau menutupi aib institusi ketimbang memberi perlindungan dan keadilan bagi korban. Padahal, pendidikan sejatinya bukan hanya tentang ilmu, tapi juga tentang kemanusiaan.
Sistem yang Sibuk pada Hal yang Salah
Lalu, di mana letak kesalahannya?
Apakah sistem pendidikan kita gagal memahami kebutuhan manusia di dalamnya?
Pemerintah terlihat sibuk mengganti kurikulum, membangun gedung-gedung sekolah, dan menciptakan program baru, namun lupa menata hal yang paling penting: kemanusiaan dalam pendidikan.
Ketika guru kehilangan martabat, siswa kehilangan arah moral, dan kampus kehilangan rasa aman, maka seluruh bangunan pendidikan kita sedang runtuh pelan-pelan.
Lebih disayangkan lagi, hingga kini tidak ada tanggapan tegas dari Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, maupun Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi terkait berbagai masalah yang terus bermunculan. Padahal, persoalan ini bukan sekadar berita — ini tentang masa depan bangsa.
Menata Ulang Arah Pendidikan
Sudah saatnya kita berhenti sibuk mempercantik sistem di atas kertas dan mulai menyembuhkan luka di lapangan. Pendidikan harus kembali pada hakikatnya: membentuk manusia yang berilmu, bermoral, dan berempati.
Guru perlu dihargai, siswa perlu dibimbing, dan lingkungan pendidikan harus kembali menjadi tempat yang aman, adil, dan manusiawi.
Jika hal itu bisa diwujudkan, maka kutipan Nelson Mandela akan benar-benar hidup di Indonesia — bahwa pendidikan memang mampu mengubah dunia, bukan menghancurkannya.***
