Bangka Barat, gerubok.com- Ombak di Laut Tempilang bergulung pelan, menyapu pasir di bibir pantai Desa Air Lintang, Sinar Surya, Benteng Kota, dan Tanjung Niur. Jumat 26 September 2025.
Namun wajah para nelayan jauh dari teduh. Di cakrawala, ponton-ponton tambang timah berjejer, berdiri seperti besi-besi raksasa yang merenggut ruang hidup mereka.
“Dulu laut ini seperti halaman rumah. Ikan, sotong, udang, tinggal turun, pulang bawa rezeki. Sekarang?. Laut jadi milik izin dan alat berat,” keluh Baidi, Ketua Nelayan Desa Air Lintang dan Benteng Kota, yang sudah tiga dekade menggantungkan hidup di perairan Tempilang.
Data resmi menunjukkan, PT Timah (Persero) Tbk mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) laut di Tempilang seluas 5.383,49 hektare (Rekapitulasi IUP PT Timah, 2023). Angka ini mencakup perairan tangkap utama nelayan di Tanjung Niur dan Sinar Surya wilayah yang selama ini menjadi lumbung hasil laut Bangka Barat.
Namun izin di atas kertas itu menjelma menjadi cengkeraman di lapangan. Tahun 2024–2025, aktivitas tambang makin massif, kapal isap produksi (KIP), ponton isap produksi (PIP), hingga ponton rajuk milik mitra perusahaan beroperasi hampir setiap hari.
Nelayan tradisional mengaku ruang tangkap mereka makin menyempit. Hasil tangkapan menurun, air laut keruh bercampur lumpur tambang, dan ekosistem dasar laut rusak.
“Pagi-pagi air sudah keruh, ikan tak masuk jaring. Bagaimana kami mau hidup?” kata seorang nelayan Desa Air Lintang kepada tim liputan.
Jeritan dan Tuntutan Nelayan
Kemarahan nelayan Tempilang memuncak setelah beberapa kali ditemukan dugaan penyimpangan. Baidi mengungkapkan, hampir satu ton bijih timah pernah “hilang” lewat jalur tak resmi pada Sabtu dini hari, namun WASTAM dan Satgasus PT Timah tak memberi klarifikasi. Kasus serupa bukan yang pertama; sebelumnya pernah ada pencurian bijih yang diungkap aparat keamanan internal.
“Kalau pengawasan lemah, kami yang nelayan selalu jadi korban. Kami tak mau ponton bekerja seenaknya, sementara laut kami hancur,” tegas Baidi.
Dalam berbagai pertemuan, nelayan menyampaikan lima tuntutan pokok:
Operasional ponton sesuai silo yang ditetapkan oleh CV pengelola, tidak boleh keluar dari titik izin.
Tempat penimbangan timah harus ada di Tempilang untuk menghindari potensi kecurangan.
PT Timah wajib memfasilitasi keamanan bersama nelayan, agar aktivitas keluar-masuk timah diawasi transparan.
Sanksi tegas bagi CV yang melanggar aturan operasional, termasuk pencabutan izin.
Penataan ponton agar tidak mengganggu jalur tangkap nelayan tradisional.
Selain itu, mereka juga mendesak agar CV pengelola tambang berperan dalam pembangunan lokal, misalnya membangun talud pemecah ombak di Pelabuhan Belik.
Menurut laporan WALHI Babel 2024, aktivitas tambang laut menyebabkan degradasi ekosistem pesisir: terumbu karang hancur, abrasi makin cepat, biota laut berkurang drastis.
Dalam BPS Bangka Barat 2024, Kecamatan Tempilang tercatat sebagai wilayah pesisir produktif dengan mayoritas warganya nelayan. Namun produktivitas perikanan menurun signifikan akibat sedimentasi tambang dan terbatasnya zona tangkap.
“Ketika izin diteken di meja birokrat, suara nelayan tak pernah terdengar. Kami hanya angka yang bisa dihapus kapan saja,” ujar Rusni, nelayan perempuan yang kini terpaksa membuat terasi untuk bertahan hidup.
Negara yang Absen
Bagi nelayan, negara seakan hilang. PT Timah berdalih tambang sah dan menopang ekonomi nasional, namun nelayan merasa keberlanjutan hidup mereka tak pernah diperhitungkan.
“Ini bukan hanya soal ikan, tapi soal harga diri. Kami lahir di sini, hidup dari laut ini, dan ingin mati dengan tenang di tanah kami sendiri,” kata Baidi, matanya berkaca-kaca.
Konflik di Tempilang sejatinya bukan sekadar tarik-menarik antara nelayan dan perusahaan, melainkan soal manajemen sumber daya, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Nelayan mendesak agar pemerintah hadir sebagai mediator. Solusi yang mereka ajukan jelas: tambang boleh berjalan, tapi tidak boleh mematikan ruang hidup nelayan.
Berita ini tidak berhenti pada jeritan nelayan semata. Ia adalah sarana edukasi bagi masyarakat untuk memahami bahwa isu tambang bukan hanya soal produksi dan devisa, melainkan soal keadilan, ekologi, dan keberlanjutan komunitas pesisir.
Pembaca diajak melihat bahwa di balik timah yang menopang industri global, ada nelayan kecil yang kehilangan hak hidup. Di balik angka ekspor, ada keluarga yang dapurnya tak lagi mengepul.
Membaca jeritan Tempilang berarti belajar mengenali wajah asli pembangunan: apakah ia memihak rakyat kecil, atau hanya melayani kepentingan segelintir elite dan perusahaan?
Laut Tempilang kini menjadi simbol luka panjang masyarakat Bangka Barat. Selama ponton-ponton tambang masih berlabuh di sana, jeritan nelayan tak akan berhenti.
Jeritan itu adalah suara dari pesisir, suara yang menuntut keadilan, suara yang ingin mengingatkan kita semua: laut bukan hanya milik izin, tapi warisan hidup untuk generasi.
Penulis: Belva.ST dan Reza Erdiansyah.SH