![]() |
Hendry Lie saat diborgol. (foto: net) |
Jakarta, gerubok.com – Nama Hendry Lie kembali menjadi sorotan tajam setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan berat atas dugaan keterlibatannya dalam kasus korupsi pengelolaan komoditas timah yang merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada Kamis 22 Mei 2025 itu mencatat sejumlah poin serius yang menjerat pengusaha tersebut.
JPU menuntut agar Hendry dijatuhi hukuman pidana penjara selama 18 tahun. Tak hanya itu, jaksa juga meminta pengadilan menjatuhkan denda sebesar Rp 1 miliar.
Jika denda tersebut tidak dibayar, maka Hendry akan dikenai tambahan hukuman berupa kurungan selama satu tahun.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 18 tahun dikurangi sepenuhnya dengan lamanya terdakwa ditahan, dengan perintah agar terdakwa tetap dilakukan penahanan,” tegas jaksa Feraldy Abraham Harahap di hadapan majelis hakim.
Tak berhenti di situ, jaksa turut menuntut Hendry untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 1,6 triliun. Jika dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap uang tersebut belum dibayar, maka aset milik Hendry akan disita dan dilelang negara.
“Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun,” sambung jaksa Feraldy.
Jika terdakwa hanya mampu membayar sebagian dari jumlah yang ditentukan, jaksa menyebut bahwa sisa pidana tambahan penjara akan tetap berlaku dengan mempertimbangkan jumlah yang telah dibayarkan.
Kerugian Besar dan Dampak Lingkungan
Jaksa menyebut bahwa tindakan Hendry Lie tidak hanya merugikan keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar, tetapi juga berdampak serius terhadap kerusakan lingkungan akibat praktik pengelolaan timah yang dilakukan.
“Perbuatan terdakwa telah menyebabkan kerugian negara yang sangat besar termasuk kerugian negara dalam bentuk kerusakan lingkungan yang sangat masif. Terdakwa telah menikmati hasil tindak pidananya,” ujar jaksa.
Dalam dakwaannya, Hendry disebut mendapatkan keuntungan pribadi melalui perusahaan miliknya, PT Tinindo Internusa, yang bekerja sama dengan PT Timah dalam pengelolaan smelter swasta. Dari kerja sama tersebut, jaksa mengungkapkan bahwa Hendry meraup keuntungan fantastis.
“Memperkaya Terdakwa Hendry Lie melalui PT Tinindo Internusa setidak-tidaknya Rp 1.059.577.589.599,19 (Rp 1 triliun),” ucap jaksa dalam sidang sebelumnya pada Kamis (30/1).
Belum Pernah Dihukum, Tapi Tetap Dituntut Maksimal
Meski Hendry belum pernah memiliki catatan kriminal sebelumnya, jaksa tetap menuntut hukuman maksimal karena dianggap tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi yang menjadi fokus utama pemerintah.
“Hal meringankan, terdakwa belum pernah dihukum,” terang jaksa Feraldy dalam persidangan.
Terdakwa didakwa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, serta Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sidang Masih Berlanjut
Kasus ini masih dalam proses persidangan dan putusan akhir dari majelis hakim menjadi penentu nasib Hendry Lie ke depan. Kasus ini menyita perhatian luas karena menyangkut kerugian negara yang sangat besar dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Hingga kini, Hendry Lie masih menjalani masa penahanan sembari menunggu vonis akhir. Kasus ini menjadi salah satu sorotan utama dalam upaya pemerintah menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang merugikan sumber daya alam nasional.***