Revitalisasi Pendidikan: Teknologi AI Digunakan oleh Universitas di Australia untuk Memeriksa Tugas Mahasiswa dari Seluruh Dunia

Indonesia

Teknologi AI
Teknologi AI

GERUBOK Techno – Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam pendidikan semakin meluas, termasuk di sejumlah universitas di Australia.

Teknologi ini digunakan untuk membantu mendeteksi kemungkinan kecurangan dalam tugas mahasiswa, terutama dalam hal penggunaan AI oleh mahasiswa internasional. Namun, ada perdebatan mengenai akurasi dan keadilan penggunaan program AI tersebut.

Beberapa mahasiswa internasional di Australia, termasuk Jia Li, mengeluhkan penggunaan program AI di universitas mereka. Saat Li memeriksa esainya menggunakan teknologi AI, hasilnya menunjukkan bahwa sebagian tulisannya tampak seperti dibuat oleh mesin.

Program AI

Program AI tersebut mendeteksi bahwa beberapa kalimat dalam bahasa Mandarin yang ditulisnya telah diterjemahkan menggunakan komputer ke dalam bahasa Inggris.

Li merasa frustasi karena tulisannya yang seharusnya merupakan karya asli dianggap sebagai hasil dari program AI. Dia bukan satu-satunya mahasiswa yang mengalami hal ini, dan beberapa mahasiswa internasional lainnya mengungkapkan kekhawatiran serupa di media sosial China.

Mereka berpendapat bahwa program AI di universitas Australia tidak akurat dan justru menuduh mereka melakukan kecurangan.

Baca Juga: Cara Membuat Google Ads yang Efektif untuk Meningkatkan Bisnis Online Anda

Sebagai respons atas keluhan tersebut, beberapa universitas di Australia mulai menggunakan program AI serupa untuk memeriksa apakah esai yang ditulis mahasiswa menggunakan bantuan AI atau tidak. Namun, para pakar mengingatkan bahwa teknologi ini mungkin tidak sepenuhnya akurat.

Mereka berpendapat bahwa program ini seharusnya tidak digunakan untuk menilai karya mahasiswa secara keseluruhan.

Stanford University di California

Sebuah studi dari Stanford University di California menyoroti masalah dalam program Turnitin, salah satu program yang digunakan untuk mendeteksi kecurangan dalam tugas mahasiswa. Studi tersebut menemukan adanya bias terhadap penulis yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris.

Para peneliti menggunakan tujuh program detektor yang berbeda dan menemukan bahwa 61 persen esai mahasiswa China dianggap sebagai hasil AI, sedangkan esai mahasiswa Amerika Serikat cenderung tidak dicurigai sama sekali.

James Zou, salah satu penulis laporan dari Stanford University, menyatakan ketidakpercayaannya terhadap program detektor AI yang ada saat ini. Menurutnya, program tersebut mudah dibohongi dan sering membuat kesalahan.

Algoritma yang digunakan dalam program tersebut sering kali memandang tulisan dengan kalimat yang kompleks sebagai tulisan yang baik.

Mungkin Tertarik: Mengenal Internet: Sejarah, Pengertian, dan Manfaatnya yang Luas

Hal ini menyebabkan tulisan dari mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua sering kali dianggap sebagai “tidak benar” karena tidak menggunakan kata-kata atau kalimat yang kompleks.

Banyak mahasiswa internasional juga menggunakan program penerjemahan dan alat bantu tata bahasa. Program-program ini dapat membuat tulisan menjadi lebih sederhana, dan program detektor kemudian dapat menganggap tulisan semacam itu sebagai hasil AI.

Penelitian menyoroti perlunya pembicaraan serius mengenai dampak etis penggunaan alat detektor AI seperti ChatGPT, serta perlunya berhati-hati dalam penggunaannya untuk menilai karya mahasiswa di dunia pendidikan.

University of New South Wales (UNSW)

Di University of New South Wales (UNSW), Jia Li menggunakan program ZeroGPT untuk memeriksa esainya. Meskipun juru bicara ZeroGPT menyatakan bahwa program mereka akurat dan tidak memihak terhadap penulis yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, Li masih mendapatkan nilai yang sangat rendah dari program tersebut.

Dosen mengatakan bahasa yang digunakan Li sulit dimengerti, dan Li merasa tidak ada banyak yang bisa dilakukannya selain menurunkan nilai yang diberikan oleh AI.

Sophie, seorang mahasiswa internasional di University of Melbourne, juga mengalami pengalaman serupa. Laporan tugasnya ditandai oleh Turnitin dengan kemungkinan 30 persen ditulis oleh komputer.

Menurutnya, fungsi AI dalam Turnitin belum cukup canggih, dan universitas seharusnya menunggu sampai memiliki program yang lebih akurat dalam mendeteksi kecurangan.

Jangan Lewatkan: Mengoptimalkan Ads TikTok dengan Strategi Terbaru Tahun ini

Para juru bicara universitas, termasuk UNSW dan University of Melbourne, menyatakan bahwa program detektor yang mereka gunakan hanya digunakan sebagai alat bantu untuk penyelidikan lebih lanjut.

Mereka menekankan bahwa deteksi awal bukanlah bukti kuat adanya kecurangan, melainkan memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

Wakil presiden Turnitin untuk kawasan Asia-Pasifik, James Thorley, menyatakan bahwa perusahaan mereka berusaha keras untuk meminimalkan kesalahan deteksi.

Dia menjelaskan bahwa tujuan awal Turnitin adalah mendeteksi teks yang dibuat menggunakan ChatGPT, dan perusahaan tersebut terus belajar dan melakukan perubahan dan adaptasi sesuai dengan keadaan.

Program Detektor AI

Terdapat kekhawatiran bahwa program detektor AI ini membuat mahasiswa internasional dianggap sebagai potensi pelaku kecurangan.

Beberapa pakar AI dan akademisi menyatakan bahwa teknologi AI sebenarnya dapat menjadi alat bantu belajar yang penting bagi mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua.

Mereka memperingatkan agar universitas berhati-hati dalam menggunakan program AI untuk menangani masalah yang timbul dari penggunaan AI, serta menekankan pentingnya menemukan solusi yang akurat dan adil.


Ikuti kami di Google News.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *